– Perang Rusia dengan Ukraina membuat aksi “buang” dolar Amerika Serikat (AS) semakin banyak terjadi. Sebabnya, langkah Amerika Serikat dan Sekutu yang membekukan cadangan devisa Rusia dalam bentuk dolar AS.
Dolar AS yang mendominasi dunia sejak 1920an membuat Amerika Serikat bisa menggunakannya sebagai senjata yang bisa merugikan negara-negara lain.
Bank sentral di berbagai negara pun banyak memborong emas pada tahun lalu agar cadangan devisa mereka lebih terdiversifikasi, tidak hanya didominasi dolar AS.
“Pesan yang diberikan oleh bank sentral dengan membeli banyak emas adalah mereka tidak mau tergantung dengan dolar AS sebagai aset utama dalam cadangan devisa,” kata Carsten Menke, Head of Next Generation Research di Julius Baer, sebagaimana dikutip Financial Times, Kamis (29/1/2022).
“Langkah bank sentral kembali ke emas menunjukkan latar belakang geopolitik saat ini adalah ketidakpercayaan, keraguan dan ketidakpastian setelah Amerika Serikat dan sekutu membekukan cadangan devisa Rusia dalam bentuk dolar,” kata Adrian Ash, Kepala riset BullionVault.
Kepala riset BullionVault, Andrian Ash mengatakan Amerika Serikat (AS) dan sekutu yang membekukan cadangan devisa Rusia dalam bentuk dolar AS menjadi salah satu pemicu bank sentral kembali memborong emas.
Beberapa negara pun kini mulai mempertimbangkan mengurangi penggunaan dolar AS, termasuk Uni Emirat Arab (UEA) yang merupakan sekutu dekat Amerika Serikat di Timur Tengah.
UEA kini semakin dekat dengan India untuk menggunakan mata uang lokal rupee dan dirham sebagai pembayaran perdagangan non-minyak mentah. UEA merupakan mitra dagang terbesar ketiga India setelah Amerika Serikat dan China.
Pada tahun fiskal 2022, nilai perdagangan India-UEA mencapai US$ 73 miliar.
Media berbahasa Inggris di India, Financial Express melaporkan, kedua negara kemungkinan akan segera mengumumkan kesepakatan penggunaan mata uang lokal tersebut.
Sebelum UEA, sudah ada 18 negara yang sepakat dan bisa menggunakan rupee sebagai alat pembayaran. German dan Inggris menjadi negara besar Eropa yang bisa bisa menggunakan rupee, dari Asia ada Singapura dan Malaysia. Rusia juga termasuk di dalamnya.
Dolar AS memang sangat dominan di dunia, menjadi mata uang yang paling banyak digunakan dalam perdagangan internasional. Harga aset juga mayoritas dipatok dengan the greenback.
Berdasarkan data dari Atlantic Council yang mengutip data dari bank sentral AS (Federal Reserve/The) pada periode 1999-2019, penggunaan dolar AS dalam transaksi internasional di wilayah Amerika Utara dan Selatan mencapai 96,4%. Kemudian di Asia Pasifiknilainya mencapai 74%.
Porsi penggunaan dolar AS hanya lebih kecil di Eropa yakni 23,1% saja. Maklum saja, Eropa memiliki mata uang tunggal yakni euro yang kontribusinya terhadap perdagangan ekspor impor di Eropa mencapai 66,1%.
Di sisa dunia lainnya, penggunaan dolar AS mencapai 79,1%. Belum lagi melihat porsinya di cadangan devisa global yang hampir 60%, terlihat jelas bagaimana dominasi dolar AS di dunia finansial.
Peran vital dolar AS di dunia finansial global membuat Amerika Serikat disebut mendapat “hak istimewa setinggi langit” oleh Menteri Keuangan Prancis, Valéry Giscard d’Estaing pada 1965.
Dolar AS yang sangat dominan di dunia ini memberikan keuntungan yang besar bagi Negeri Adidaya. Obligasi pemerintah AS akan selalu ada peminatnya, bahkan bisa diterbitkan dengan kupon yang rendah.
Aliran modal yang besar ke Amerika Serikat bisa menambal defisit transaksi berjalan dan anggaran secara terus menerus. Selain itu, dengan vitalnya posisi dolar AS tersebut, banyak yang mengatakan Amerika Serikat menggunakannya sebagai senjata untuk menekan negara lain. Bahkan bisa digunakan untuk merusak perekonomian suatu negara.
Maka tidak heran jika banyak negara perlahan-lahan mulai menggunakan mata uang lokal, dan mengurangi penggunaan dolar AS.